Search This Blog

Wednesday, January 5, 2011

Burn Out



Tuesday, 08 June 2010 16:15
Keadaan "burn out" dapat dialami oleh siapa saja, di mana saja, dan profesi apa pun. Rasa kecewa, dikritik habis-habisan, gagal, selalu terabaikan atau kurang diperhatikan, tidak pernah ada pujian, tidak akur dengan rekan, selisih pendapat, terlalu sibuk pada pekerjaan; inilah sekumpulan gejala seseorang yang menuju kepada burn out.

Secara harafiah, kata “burn out” diterjemahkan dengan “dibakar habis” dan jika diterjemahkan secara bebas, artinya “sudah tidak ada semangat lagi, depresi, tidak bergairah lagi, bosan, hampir putus asa, frustrasi, serta merasa tidak berguna lagi.” Dalam kasus nabi Elia di kitab 1 Raja-raja 19, burn out muncul sesaat setelah kemenangan peperangan rohani yang besar. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba tanpa terlihat adanya tanda-tanda khusus menyertainya. Mengapa bisa demikian?

Jawabannya, karena pengharapan Elia yang terlalu besar; ia berharap bahwa seluruh umat Israel merespons positif, setuju dan mendukungnya. Setelah peristiwa di gunung Karmel, Elia mempunyai harapan yang besar akan adanya kebangunan rohani secara nasional bagi umat Israel, secara khusus Raja Ahab (1Raj. 18:41-46). Namun, kekecewaan hebat dan juga depresi justru didapat oleh Elia (1Raj. 19:1-4). Nyatanya, realita berbicara terbalik dengan harapan Elia. Yang terjadi justru munculnya ancaman dari Izebel (ay. 2). Kita dapat membayangkan betapa kecewanya Elia setelah mendengar perkataan Izebel ini. Ia berharap, raja Ahab dan Izebel, serta seluruh umat Israel dapat kembali kepada YHWH, dengan meninggalkan Baal. Namun tidak demikian adanya!

Adakah perasaan seperti ini juga muncul dalam kehidupan pelayanan kita? Kita berpikir, semua akan setuju dan mendukung kita. Namun, realita terjadi sebaliknya; kita menjumpai bahwa pelayanan sebaik apapun, masih ada yang mengkritik dan mencemooh. Inilah realita yang sesungguhnya. Namun demikian, kita harus belajar seperti Paulus yang berkata, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa” (2Kor. 4:8).

Alasan lain, mengapa seseorang mengalami burn out, karena adanya perasaan ditinggalkan dalam kesendirian dan tidak dihargai (1Raj. 19:10b, 14b). Elia mengalami perasaan seperti itu ketika menyembunyikan diri dari ancaman Izebel. Tuhan bertanya kepadanya, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (ay. 9, 13). Elia menjawab, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.”

Jawaban Elia ini sebenarnya memperlihatkan keletihan jiwanya dan ketidakmampuannya mengatasi tekanan hidup yang menimpanya. Benar, bahwa Elia telah bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN. Ia juga setia kepada Tuhan selama masa penantiannya di tepi sungai Kerit. Ia mempertaruhkan reputasinya pada saat dia berdoa kepada Tuhan untuk memulangkan nyawa seorang anak janda di Sidon. Elia juga telah menaati perintah Tuhan untuk menghadapi Ahab dan nabi-nabi palsunya di gunung Karmel. Tuhan tahu semua yang telah Elia lakukan. Tetapi, di sini Elia tidak menjawab pertanyaan Tuhan, karena pertanyaan Tuhan adalah, “Apakah kerjamu?”, dan bukan “Apa yang telah engkau kerjakan?”

Sebaliknya, ia mengeluhkan tentang keadaan diri sendiri, yang berjuang mati-matian dan tidak ada yang mendukung dirinya. Apakah betul Elia berjuang seorang diri? Sebenarnya tidak, karena masih ada Obaja serta 100 nabi lainnya yang disembunyikan Obaja (1Raj. 18:4); serta Tuhan mengatakan, masih ada 7.000 ribu orang yang memiliki visi yang sama dengan Elia, yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium Baal. (ay. 18).

Belajar dari kasus Elia, sebenarnya dalam melakukan pelayanan, kita tidak pernah ditinggalkan dalam kesendirian, tidak berjuang sendiri karena masih ada orang-orang yang Tuhan khususkan dan juga memiliki visi yang sama untuk berjuang di jalan Tuhan. Terlebih, Tuhan kita adalah Tuhan yang Imanuel, yang senantiasa menyertai kita.

Banyak orang berpikir bahwa penyebab utama dari “burn out” adalah stress. Dr. Frank Minirth dan Dr. Paul Meyer yang banyak menulis dan menyelidiki tentang burn out mengatakan bahwa penyebab burn out yang utama bukanlah stress, tetapi bitterness (kepahitan). Penyebab kedua adalah personality styles (gaya kepribadian) dan penyebab ketiga yaitu stress. Kepahitan—menolak untuk mengampuni orang lain ataupun diri sendiri—menyebabkan hidup kita “burn out.” Kepahitan melenyapkan perasaan damai dan sukacita. Kepahitan merugikan diri sendiri. Kepahitan bekerja seperti racun, meracuni pikiran dan tindakan kita. Lambat laun, hidup kita menjadi lemah dan rusak.

Ini adalah alasan ketiga, kenapa seseorang bisa sampai mengalami kondisi burn out, yaitu disebabkan karena adanya akar kepahitan. Dalam kasus Elia, ia tidak dapat mengampuni dirinya sendiri ketika ia berkata: “...Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku.” Pertanyaannya, apakah betul Elia tidak lebih baik dari nenek moyangnya?

Seorang pelayan Tuhan ketika menghadapi burn out; ia ibarat prajurit yang terluka yang membutuhkan perawatan dan pengobatan. Namun yang ia dapat bukannya pemulihan dan kesembuhan, sebaliknya, tetap dalam kondisi terluka. Gereja harus menjadi tempat pemulihan bagi mereka yang mengalami burn out dalam pelayanan, pekerjaan serta kehidupan. Tuhan Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Ku pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11: 28-30).

Hari ini, beban apa yang terus-menerus Anda pikul sepanjang hidup, yang membuat Anda menjadi letih lesu dan berbeban berat, sehingga hal itu mengakibatkan hidup dan pelayanan Anda mengalami kejenuhan dan kemandekan. Datanglah kepada Kristus! (perspektif)

No comments:

Post a Comment